Posted in Opinion

Prostitusi Versus Norma

Sambungan “Prostitusi sebagai bagian kehidupan kota”

Pengertian Prostitusi

Prostitusi (pelacuran) berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, malakukan persundalan, pergundikan. Sedang prostitue adalah pelacur, dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Tuna susila atau tidak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laik-laki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya.

Tuna susila itu juga dapat diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila, atau gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma susila. Menurut Prof. W. A. Bonger dalam tulisannya “Maarschappelijke oorzaken der Proostituie” menyatakan: Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.

Menurut P.J. de Bruine Van Amsel menyatakan: Prostitusi adalah penyerahan diri wanita kepad banyak laki-laki dengan pembayaran. Menurut G. May dalam bukunya “Encyclopedia of Social Science”, menyatakan: Prostituion defined as sexual intercourse characterized by barter, promiscuity, and emotional infference. May menekankan masalah barter atau perdagangan secara tukar menukar yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang,, hadiah,atau barang berharga lainnya. Ia juga mengemukakan promiskuitas yaitu hubungan seks bebas, dan ketidakacuhan emosional, melainkan hubungan seks tanpa emosi, tnpa perasaan cinta kasih atau afeksi. Pihak pelacur mengutamakan motif-motif komersiil atau alasan-alasan keuntungan materiil, sedang pihak laki-laki mengutamakan pemuasan nafsu-nafsu seksual.

Menurut Kartini Kartono, mengemukakan bahwa:

1. Prostitusi adalah benrtuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak teerintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks uang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual untuk mendapatkan upah.

Dimasukkan dalam kategori pelacuran antara lain:

1. Pergundikan, yaitu pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau perempuan peliharaan. Mereka hidup sebagai suami istri namun tanpa ikatan perkawinan.

2. Tante Girang atau loose Married Woman, yaitu wanita yang sudah kawin namun tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain, baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang-senang, dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain maupun secara intensional untuk mendapatkan penghasilan.

3. Gadis-Gadis Panggilan, yaitu gadis-gadis n wanita biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan diperkerjakan sebagai prostitue, malaui saluran-saluran tertentu. Mereka ini terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, pelayan-pelayan toko, pegawa-pegawai, gadis-gadis sekolah lanjutan, dan lain-lain.

4. Gadis-Gadis Bar atau B-Girls, yaitu gadis-gadis yang berkerja sebagai pelayan bar, dan sekaligus memberikan pelayanan seks kepada pengunjung.

5. Hostess atau pramuria, yaitu yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nightclub. Pada intinya profesi hostess merupakan bentuk pelacuran halus. Sedang pada hakikatnya hostess adalah predikat baru dari pelacuran. Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluki, diciumi dan diraba-raba. Dengan demikian langganan dapat menikmati keriaan atau kesenangan suasana di tempat-tampat hiburan tersebut.

Pengertian Norma

Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi oleh norma-norma, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Menurut Dr. W. Poespoprodjo dalam “Filsafat Moral: Kesusilaan dalam teori dan Praktek”, menyatakan bahwa; Norma adalah aturan, standar, ukuran. Norma adalah sesuatau yang sudah pasti yang dapat kita pakai untuk membandingkan sesuatu yang lain hakikatnya, besar kecilnya, ukurannya, kualitasnya, kita ragu-ragu.

Sedangkan menurut K. Bertens dalam bukunya “Etika” menyatakan bahwa norma dimaksudkan sebagai aturan atau kaedah yang kita pakai sebagai tolok ukur menilai sesuatu. Akan tetapi dengan adanya norma-norma itu dirasakan pula oleh adanya pengharagaan dan perlindungan terhadap dirinya dan kepentingan-kepentingannya.

Demikianlah norma-norma itu mempunyai tujuan supaya kepentingan masing-masing warga masyarakat dan ketentraman dalam masyarakat terpelihara dan terjamin. Dalam pergaulan hidup dibedakan 4 macam norma, yaitu:

1. Norma Agama

Norma agama adalah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan. Para pemeluk agama mengakui dan berkeyakinan, bahwa peraturan-peraturan hidup itu berasal dari Tuhan dan merupkan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar.

Dalam abad pertengahan, orang berpendapat, bahwa norma agama adalah satu-satunya norma yang mengatur peribadatan yaitu kehidupan keagamaan dalam arti yang sesungguhnya dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga memuat peraturan-peraturan hidup yang bersifat kemasyarakatan yang disebut muamalat.

Norma agama itu bersifat umum dan sedunia(uiniversal) serta berlaku bagi seluruh golongan manusia di dunia. Namun, tentu saja dengan “bahasa” yang berbeda yang dituangkan dalam kitab suci agama masing-masing yang dianut dan di yakini oleh pemeluknya.

2. Norma Kesusilaan

Norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar ia menjadi manusia yang sempurna. Hasil daripada perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu itu bergantung kepada pribadi masing-masing orang. Isi hatinya akan mengatakan perbuatan mana yang jahat dan mana yang baik.

Dalam norma kesusilaan terdapat juga peraturan-peraturan hidup, seperti yang terdapat dalam norma agama, misalnya “hormatilah orang tuamu agar engkau selamat di akhirat, jangan mencuri, dilarang berdusta,” dan lain sebagainya. Norma-norma kesusilaan dapat juga menetapkan baik buruknya suatu perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam masyarakat. Norma kesusilaan inipun bersifat universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.

3. Norma Adat Istiadat/Kesopanan

Norma adat istiadat ialah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia. Peraturan-peraturan itu diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia yang ada disekitarnya. Satu golongan masyarakat tertentu dapat menerapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan, yaitu apa yang boleh, apa yang tidak boleh dilakukan seseorang dalam masyarakat itu.

Norma adat istiadat tidak berlaku universal bagi seluruh masyarakat dunia melainkan bersifat khusus dan setempat dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan oleh segolongan masyarakat belum tentu dianggap hal yang sama bagi segolongan masyarakat lain.

4. Norma Hukum

Peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap warga negara dan pelaksanaannya dipertahankan dengan segala paksaaan oleh alat-alat negara. Keistimewaan norma hukum justru terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman, entah itu berupa denda sampai ancaman hukuman kurungan (baca:penjara).

Alat-alat kekuasaan negara berdaya upaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati

—————————————————————————

Norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat istiadat bertujuan membina ketertiban umat manusia. Namun, ketiga peraturan hidup itu belum cukup memberi jaminan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Ketiga norma tersebut tidak mempunya sanksi (pengukuh) yang tegas jika salah satu peraturannya dilanggar.

Pelangar norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, dan hukuman itu berlaku kelak di akherat. Pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cewmas dan kesal hati kepada pelanggar norma yang sadar akan kesalahan perbuatannya dan insyaf. Sedangkan pelanggaran norma adat istadat atau adat kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan diri dari lingkungan masyarakat.

Hukuman-hukuman semacam ini tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang tidak mengenal atau tidak memperdulikan agama, kesusilaan, dan adat istiadat. Mereka bertindak semaunya, karena merasa tidak ada hukuman yang dapat mengancam mereka saat mereka hidup. Dengan demikian orang-orang itu juga tidak terikat kepada ajenis peraturan hidup uitu, sehingga mereka berbuat sesuka hatinya. Sikap yang demikian tentullah sangat membahayakan masyarakat dan dapat mengganggu ketentraman umum.

Oleh karena itu disamping ketiga jenis peraturan hidup tersebut, perlu juga adanya peraturan hidup lain yang dapat menegakkan tata, yaitu suatu jenis peraturan bersifat memaksa dan mempunyai sanksi-sanksi dengan tegas. Penundukan kepada norma-norma itu didasarkan atas pertimbangan ketepatgunaan dan pengakuan peraturan moral yang didalamnya berfungsi kata hati (dalam istilah Freudiaans “Uber-Ich”). Ditinjau secara rasional, kata hati itu berfungsi sebagai proses sosialisasi dan proses-proses internalisasi yang ada sebelumnya yang membantu membentuk kepribadian.*